SELAMAT DATANG
Nama : Merci Ariandini

NPM/Kelas : 26209417 / 4EB05

Gunadarma University

Rabu, 28 April 2010

Tahun 2010 Sinyalemen Kewaspadaan Sospol

KabarIndonesia Kondisi iklim dan cuaca tidak berbeda jauh, iklim usaha di bidang perekonomianpun belum menunjukan perubahan yang signifikan, apalagi situasi sosial politik Tahun 2009 yang masih saja menjadi PR di Tahun 2010. Namun demikian aspek yang harus di ubah secara total pada Tahun 2010 ini untuk membenahi aspek sosiologis masyarakat yang carut-marut.

Sudah terlalu banyak mendengar dan melihat di media cetak dan elektronik tentang tindak anarkis, huru–hara, bentrokan antar warga dengan aparat, tawuran antara penduduk suatu kawasan dengan lainnya atau kejadian kejadian lainnya yang menggambarkan adanya disequilibrium antara kelompok sosial yang menyusun struktur sosial masyarakat kita sepanjang Tahun 2009. Kasus kasus di atas telah ditengarai oleh para pemerhati sosial sebagai gejala pelampiasan tekanan hidup yang lama terakumulasi.

Memang telah terjadi hubungan tidak serasi antar lembaga penegak hukum, lembaga kepresidenan, parlemen dan mentri anggota kabinet pada dekade akhir tahun 2009 kemarin. Bahkan bayak pihak yang menganalisis dibalik kasus institusional terdapat konspirasi politik tingkat tinggi. Tumpang tindih dan ruwetnya berbagai kasus diatas tentunya akan menimbulkan krisis ketidak percayaan rakyat terhadap pejabat dan petinggi negara.

Menyikapi permasalahan tersebut di atas hendaknya kita mengacu pada pernyataan Dr. Nurcholis Madjid yang disampaikan oleh Prof Dr. Muhammad Mahfudz MD di Semarang pada Hari Senin 21 Desember lalu, bertepatan dengan kegiatan pemberian Budai Awards kepada Ketua Mahkamah Konstitusi ini di Unisula Semarang, bahwa negara harus mampu bertindak adil dan memberikan pelayanan hukum kepada setiap warga negaranya. Lantas apabila rakyat sudah tidak percaya lagi dengan para pemimpinya maka bagaimana keadilan akan terwujud.

Guna menuju keadilan yang di cita citakan bersama , selanjutnya Prof. Dr. Muhammad Mahfud MD pada even yang sama menyatakan bahwa Indonesia harus bersih dari mafia hukum, Lebih jauh lagi Beliau menyatakan bahwa kehancuran suatu bangsa tinggal tunggu man saja apabila hukum sudah bisa dibeli atau dipolitisi. Pelaku pelaku seperti inilah yang oleh Beliau disebut sebagai pengkhianat sejati.

Kekisruhan di akhir tahun 2009 lalu lebih terasa memanas akibat kiprahnya kelompok elit politik yang memaklumatkan Revolusi 20 Desember 2009. Aksi tersebut digelar dengan mengerahkan ribuan masyarakat dan mahasiswa yang diusung oleh 50 elemen masyarakat. Dalam orasi politiknya Sri Bintang Pamungkas, pemimpin gerakan tersebut meminta SBY dan Budiono lengser dari kursi kepresidenan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa mereka terpilih dari pemilu yang tidak sah, karena dana yang digunakan pencalonan mereka adalah dana bailout Bang Century sebesar 6,7 trilyun rupiah. Pernyataan tersebut memang membahana ke seluruh wilayah Indonesia hingga menyebabkan para elit politik lainnyapun ikut nimbrung dalam menuntut sikap SBY, terutama masalah pengnonaktifan Sri Mulyani dan Boediono.

Barangkali ada baiknya bila kita tidak usah terus memperpanjang semua kekisruhan tersebut di atas yang terjadi di akhir Tahun 2009, lantaran sudah sepantasnya kita sebagai negara yang jauh tertinggal dibanding Negara Asia lainnya, untuk Tahun 2010 lebih sigap menata dan memperbaiki seabreg aspek yang masih tak terselesaikan. Apalagi kini telah bergulir pernyataan para elit politik yang menganalisis dan telah menyimpulkan bahwa bangsa ini telah mengalami hamil tua.

Lepas dari kekisruhan institusi tersebut di atas. Kita harus mampu mencermati akar masalah yang melatarbelakangi benturan sosial tersebut, bila kita memang ingin menuntaskan Bad Social Behaviour tersebut. Konsep ini jelas harus segera diterapkan dengan tajam, memberi dampak positif yang signifikan dan mendasar, dengan cara mengoptimalkan semua kinerja penyelenggara negara. Agar kita tidak terperosok lebih dalam lagi yang secara gradually akan menyengsarakan rakyat kecil.

Mengutip pernyataan Dr. Mahathir Muhamad Mantan Presiden Malaysia saat diwawancari salah satu reporter tv swasta kita, yang mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Besar, baik dari wilayah, jumlah penduduknya atau kriteria yang lainnya. Maka tentu saja Indonesia, memiliki permasalahan yang jauh lebih komplek ketimbang Malasia dan Negara Asean lainnya. Dengan demikian hal ini akan menimbulkan konsekuensi yang lebih pelik lagi dan menimbulkan juga specifikasi tentang tumpah-tindihnya permasalahan yang menjadi penyebab utama ancaman instabilitas.

Berdasarkan wacana tersebut di atas, maka cukuplah bagi kita untuk segera mengedapankan pendekatan social behaviour dari kacamata sosiologis. Meski pendekatan dengan cara pandang lainnya juga tidak kalah pentingnya. Tentu saja kita terlebih dahulu harus tanggap sosial lantaran telah bertambahnya jumlah warga miskin di tanah air, hal ini disebabkan salah satunya adalah PHK yang marak dimana-mana. Sudah jelas bahwa piramida stratifikasi sosial masyarakat kita telah meluas di bagian bawah. Inilah yang seharusnya diselamatkan dengan mengerahkan segenap kemampuan kita.

Tentang kekisruhan politik yang mendera bangsa ini, biarkanlah hal itu diserahkan kepada masing masing institusi yang berkepentingan. Tentunya apabila mekanisma politik ini berjalan pada suatu aspirasi rakyat yang benar, pastilah masalah kekisruhan ini bisa diaatasi dari ranah politik. Namun apabila ranah politik hanya sebagai kuda tunggangan elit politik, maka kita harus memfokuskan diri pada hal pendekatan sosiologis kepada masyarakat kita yang sedang sakit, Inilah fokus utama untuk menyelamatkan carut-marutnya kehidupan bangsa ini.

Secara mendasar sosiologi telah menggambarkan kebutuhan kodrati dari setiap manusia dimanapun ia hidup, atau dari strata social apapun, pastilah akan terkena dampak virus need of achievment, yaitu upaya manusia yang serius untuk mencapai kebutuhan dasarnya, hingga dia mampu mencapai tingkat pemuasan diri terhadap apa yang dikejarnya. Meski kebutuhan di atas bersifat kodrati, namun skala prioritas dalam daftar pencapaian kebutuhan dasarnya adalah sangat bervariasi, antara social multiculture satu dengan lainnya. Indonesia dengan kondisi sebagian besar rakyatnya yang masih hidup di garis kemiskinan, rendah level-educationnya dan dengan kompetensi tenaga-kerja yang hanya menduduki urutan ke 50 dibanding dengan 55 dari tiga negara lainnya.

Apalagi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang berkisar hanya 4-5 persen per tahun, dibanding dengan tingkat pertumbuhan Negara Asia lainnya, yang menempati angka 7-8 persen, tentunya pemerintah memerlukan spirit yang lebih kuat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Sehingga dengan demikian Rakyat Indonesia dengan berlatar belakang kondisi yang demikian ditengah iklim usaha yang tiada menentu, maka akan sulit untuk memenuhi hasrat ingin berkembang atau hasrat ingin meraih kesejahteraan hidup bagi rakyatnya. Padahal pada suatu social multiculture yang sehat, seharusnya terjadi mobilitas sosial yang aktif dan terbuka. Semakin banyak anggota masyarakat yang berhasil dalam climbing mobility social yang diimpikan, akan semakin baik suatu masyarakat. Namun pada kenyataannya semakin maraknya PHK yang terjadi selama ini, semakin banyak pula anggota masyarakat yang mengalami sinking social mobility. Sehingga hal ini menambah daftar urutan panjang bagi pemerintah untuk merealisasikan program pengentasan kemiskinan. Belum lagi pencapaian kebutuhan untuk pendidikan yang semakin melambung tinggi biayanya, semakin besar pula himpitan penderitaan bagi masyarakat kecil.

Dengan kondisi seperti tersebut di atas kita menjadi khawatir, akan adanya social changes ke arah yang tidak kita harapkan. Sebab social changes yang dalam Ilmu Sosiologi disebut Perubahan Sosial, adalah cerminan dari dinamisasi masyarakat yang multikultur dalam menggapai kebutuhan dasarnya. Kentalnya aktifitas masyarakat multikultur di era globalisasi multidimensional dewasa ini, menuntut setiap masyarakat multikultur umtuk sigap melakukanperubahan. Lantaran dengan cara demikian itulah suatu masyarakat mengalami mobilisasi sosial. Jelas dan tak dapat dihaindarkan, keadaan seperti tersebut di atas, akan menimbulkan dampak baik positip maupun negatip. Adanya kelesuan iklim usaha untuk masyarakat yang nota bene masih jauh dari sejahtera itu sendiri telah terasa hingga saat ini. Adanya berbagai bentuk kriminalitas, tindakan anarkis, sudah jelas berasal dari alasan tersebut di atas.

Apalagi dengan semakin meluasnya kiprah para elit politik dalam memenuhi ambisi politiknya. Oleh karena itu, agar perubahan sosial ini mampu diarahkan ke tatanan yang dapat kita harapkan bersama, maka faktor pembatas yang signifikan mengarahkan perubahan sosial yang baik harus kita simaki dan diprogram dengan cermat, terpadu dan taktis. Seperti halnya pada jaman pemerintahan Soeharto dengan konsep Repelita berjangka, sistematik dan terpadu.

Langkah konkrit untuk realisasi peningkatan taraf hidup ini, bisa dengan segera mengkonkritkan pemerataan kesempatan kerja, sehingga minimal mampu meminimalisasi pengangguran hingga 50 %. (program 100 hari Kabinet Bersatu II ). Hal ini memang suatu fenomena yang tidak bisa ditawar – tawar lagi, karena kita akan segera berhadapan dengan masa pengangguran baik intelektual maupun nonakedemis yang mengalami stagnasi di stratifikasi sosial yang terendah, dan mengalami kendala yang relatif berat apabila harus memobilisir ke strata yang ada di atasnya. Sehingga akan membentuk kerucut social stratification yang membuka kebawah dengan sudut yang relatif besar.

Ketimpangan stratifikasi sosial semacam ini jelaslah memberikan kesempatan kepada mereka untuk bersikap sensitif dan gampang memberikan solidaritas yang semu kepada unsur, pihak atau siapapun yang memiliki kepentingan. Bukankah masyarakat kita sekarang gampang banget turun ke jalan tanpa harus mengerti betul apa maksud dan tujuannya. Yang tiba gilirannya jadilah mereka semua sebagai masa buih di laut, yang mengambang kesana-sini.Akankah fenomena ini akan terus berlangsung atau bahkan menjadi budaya baru sebagai suatu proses Internalized Institutiuon (pandangan baru yang mulai meresap ke sumsum tulang).

Daripada kita meributkan kasus Bibit – Chandra dengan Bang Centurynya atau mengekspatasi Cicak dan Buaya dengan opini–opini yang melebar. Alangkah baiknya bila SBY dengan instrumen – instrumenya mengadakan survey nasional sosiologi, untuk merefleksikan permasalahan yang mendasar yang dimiliki sebagian besar masyarakat prasejahtera. Sehingga terwujudlah perubahan yang signifikan mulai Tahun 2010 hingga sampai tak terbatas waktunya. Bukankah negara kita sekarang telah mengalami perubahan musim yaitu, yaitu musim penghujan, musim kemarau dan musim menguatnya opini publik. Ada baiknya juga bila segala sesuatu diselesaikan melalui jalur yang berlaku di negara ini, yang telah terkenal sebagai negara santun, murah senyum dan toleran serta terbuka pada setiap inovasi.

Oleh karena itu Mari kita gandeng tangan bersama demi terwujudnya cita-cita nasional kita mulai dari Tahun 2010 ini.

Namun kita juga harus mampu berbenah diri. Tidak ada salahnya juga bila kita menyimak lebih jauh lagi terhadap sinyalemen akan adanya revolusi sosial yang pernah dilontarkan oleh Mantan Presiden RI ke–4, KH Abdurahnam Wakhid, yang baru saja meninggalkan kita semua. Hal ini dikarenan telah banyaknya perilaku elit politik di Indonesia yang terus mencoba membuat manuver politik yang mengancam eksistensi politik petinggi nasional kita, seperti terbitnya Buku Membongkar Gurita Cikeas.


Sumber
http://www.kabarindonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar