JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah mengandalkan surplus Bank Indonesia untuk melunasi hutang yang muncul akibat krisis moneter pada tahun 1998-2000, yaitu senilai Rp 129 triliun. Beban puncak jatuh tempo utang yang berasal dari penerbitan obligasi Special Rate Bank Indonesia, atau SRBI 001, itu akan terjadi pada tahun 2033.
Menteri Keuangan dan Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan hal itu di Jakarta, Minggu (14/6). SRB-01/MK/2003 adalah surat utang yang diterbitkan pemerintah pada tanggal 7 Agustus 2003, sebagai pengganti Surat Utang (SU)-001utan dan SU-003. Surat utang ini diterbitkan terkait penyelesaian bantuan likuiditas BI (BLBI). Nilai nominal penerbitan SRBI Rp 144,54 triliun.
SRBI jatuh tempo pada tahun 2033 dengan tingkat kupon 0,1 % setahun dihiutung dari sisa pokok terutang, yang dibayarkan secara periodik dua kali setahun.
Pelunasan SRBI dapat bersumber dari surplus BI yang menjadi bagian pemerintah, dan akan dilakukan apabila rasio modal terhadap kewajiban moneter BI di atas 10%.
Pada tahun 2006, rasio modal terhadap kewajiban moneter BI lebih dari 10 persen. BI menggunakan kelebihan tersebut untuk mengurangi saldo SRBI senilai Rp 1,52 triliun.
Menurut Sri Mulyani, suku bunga SRBI-001 relatif rendah sehingga tidak memberatkan pemerintah yang berkuasa pada tahun 2033. Apalagi jika memperhitungkan nilai waktu dari uang (net present value of money), maka beban bunga itu sangat ringan sebab suku bunga itu tidak di pengaruhi dengan adanya kenaikan inflasi.
”Kalau BI mendapatkan kelebihan dana dari hasil pengelolaan keuangannya, itu akan secara otomatis mengurangi SRBI 001. Dari tahun 2009 ke 2033 masih ada waktu 24 tahun, itu artinya, SRBI-001 sangat bisa di-reprofiling (yaitu antara lain dengan memperpanjang masa jatuh tempo),” kata Menkeu.
Sumber. Kompas
http://vienska.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar